Bencana gempabumi dan tsunami dahsyat yang terjadi di Mentawai pada tahun 2010 telah menghadirkan sebuah film dokumenter yang diproduksi oleh Watchdoc. Dalam pengerjaan film tersebut melibatkan beberapa peneliti, praktisi, dan pekerja kemanusiaan berkecimpung dalam peristiwa gempa dan tsunami Mentawai 2010.
Film ini mengisahkan kronologis kejadian gempabumi dan tsunami saat 2010 silam. Saat itu yang dipahami masyarakat adalah tsunami biasanya datang 30 menit setelah gempa besar terjadi. Gempabumi tersebut berpusat di laut dengan kedalaman tertentu. Namun, pada Kepulauan Mentawai situasinya berbeda, setelah gempa besar terjadi, air laut tidak tampak surut. Namun, tsunami secara tiba-tiba datang setelah sirine potensi tsunami berhenti. Film ini juga menceritakan bahwa gempabumi dan tsunami merupakan fenomena yang pernah juga terjadi di Kepulauan Mentawai pada zaman dahulu.
Baca juga : BERCOCOK TANAM BERBASIS MITIGASI BENCANA
Rabu (31/3), dalam rangka memperingati Hari Film Nasional yang jatuh pada tanggal 30 Maret, SiagaBencana.com bekerja sama dengan Nurul Hayat dan U-Inspire Indonesia menggelar nonton bareng film Repdeman secara virtual. Selain nonton bareng, acara tersebut juga telah menghadirkan producer sekaligus scriptwriter dari film Repdeman, yaitu N. Shusilawati.
Shusilawati atau biasa disapa Shusi ini, mengatakan bahwa ada alasan tersendiri Mentawai menjadi pilihan Shusi untuk dijadikan film dokumenter. Hal ini dikarenakan terdapatnya kesempatan penelitian yang intensif dan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Selain itu, terdapat keunikan tersendiri saat gempa dan tsunami di tahun 2010, yakni tsunami tiba-tiba datang setelah sirine tsunami berhenti.
Selain itu, di acara tersebut juga terdapat kuis berhadiah buku berjudul Menari di atas Bumi yang ditulis oleh Rahma Hanifa, tentang gempa dan tsunami di Indonesia, khususnya Mentawai.
Dengan adanya acara nonton bareng ini, semoga semakin banyak anak bangsa yang membuat film dokumenter yang mengungkap sejarah bencana di Indonesia dan masyarakat tidak melupakan sejarah serta kearifan lokal berbasis bencana. Sebab, bencana bisa berulang yang entah kapan waktunya tidak ada yang tahu. (MA)